{[['']]}
Oleh: Berny Julianto
Sebuah tema usang.
Dalam beberapa kesempatan saya sering mendengar pertanyaan seperti apakah komik Indonesia itu? atau apa yang kita buat bukanlah komik Indonesia tetapi komik negri ini atau itu.
Hal-hal seperti itu membuat saya berpikir, benarkah karya komik atau berbagai macam sebutannya seperti manga, manhua, les bandes designes atau cergam terkotak- kotak dalam kelompok-kelompok seperti itu? Apakah itu tidak malah menunjukkan masih terkotak-kotaknya pemikiran kita tentang komunitas manusia di jaman saat teknologi memungkinkan kita menembus batasan-batasan ruang?
Budaya manusia tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Manusia di sepanjang sejarah saling memberi pengaruh satu sama lain. Di dalam keluarga ada orang tua, saudara yang lebih berpengalaman memberi pengaruh terhadap sikap seseorang dalam menghadapi banyak hal. Dalam komunitas lebih luas hal itu juga terjadi dalam banyak bidang kehidupan.
Komik sebagai bentuk seni juga mengalami fenomena yang sama. Masing-masing artis komik di mana saja mengalami saat-saat di mana dia terpengaruh oleh style karya artis komik lainnya. Misalnya Arthur Adam disebutkan dalam buku Modern Masters volume 6 bahwa dia terpengaruh Frank Frazetta, Michael Golden, Walter Simonson, Jack Kirby, Barry Windsor-Smith.
Manga Jepang pada masa-masa awalnya terpengaruh film-film tipe Disney. Cergam di Indonesia pada masa-masa awal terpengaruh gaya-gaya Eropa, Amerika dan Mandarin. Jadi mengapa dipersoalkan ketika generasi cergam kini terpengaruh style-style komik yang umum ditemui di pasaran seperti manga, manhua, komik Eropa maupun Amerika. Itu tidak lebih dari saling mempengaruhi antara individu-individu artis komik, bukan kejepang-jepangan ataupun keamerika-amerikaan.
Memang bisa diakui bahwa penyerapan gaya artis-artis manca negara sering masih sangat supervisual. Hanya diambil permukaannya. Bisa jadi itu wajar untuk artis-artis pemula yang masih mencari bentuk.
Terkadang cukup aneh melihat gaya hidup keseharian karakter-karakter komik menjadi tidak natural karena jadi orang Indonesia tapi memakai salam gaya Jepang atau kota-kota Indonesia yang paling banter seperti Jakarta tiba-tiba berubah menjadi seperti New York. Kalau dibuat setting futurisik atau antah berantah sih oke saja. Tapi tetap seharusnya ada ”reason bridge” yang menjembatani pemahaman tentang suasana cerita. Cara comot dan tempel yang acak-acakan menjadikan komik jadi aneh.
Penyesuaian gaya superhero yang berasal dari Amerika dalam film dan komik Jepang adalah contoh yang menarik. Mereka menjadikannya lebih natural dengan gaya keseharian dan konten seni lokal mereka. Robot-robot masih bisa ”masuk akal” karena mereka dalam kehidupan real memang mengembangkan teknologi robot.
Jadi menurut saya apakah kita membuat komik dengan style terpengaruh artis manca negara bukanlah soal yang menghambat perkembangan komik lokal. Apalagi dunia perkomikan kita pernah hampir-hampir vakum dalam waktu yang cukup lama yang membuat para komikus muda kita kehilangan komikus-komikus lokal yang bisa menjadi panutan mereka. Semangat berkarya ada, cari style yang tersedia dan terus berkarya dan berkarya.
Style suatu kelompok komik dari negri tertentu menjadi seperti yang kita saksikan sekarang sebenarnya adalah lebih merupakan ”branding” untuk mendukung industri komik mereka. Ciri-ciri style menciptakan segmen-segmen pasar yang setia menanti produk-produk yang sudah melekat dalam ingatan mereka.
Fan base
Untuk membangkitkan industri komik di Indonesia memang bukan cukup dengan berkarya saja. Kwantitas dan kwalitas karya memang mutlak perlu, tapi tanpa didukung perangkat yang bisa mengusungnya menjadi karya yang bisa diminati dan dinikmati oleh masyarakat luas maka semua itu hanya menjadi koleksi-koleksi pribadi dan terbatas pada komunitas-komunitas tertentu.
Setiap produk industri pasti ditujukan pada konsumen. Semakin luas nilai urgensinya semakin luas pangsa pasarnya. Hal seperti ini terjadi pada produk-produk pokok seperti bahan pangan dan BBM. Semakin rendah nilai urgensinya semakin sempit pangsa pasarnya.
Kita tidak bisa mengharapkan semua orang untuk membeli sepatu bola. Tidak semua orang suka main bola, tidak semua orang adalah pemain sepak bola. Demikian juga komik. Seperti halnya masakan yang menawarkan berbagai macam cita rasa (bahkan satu jenis masakan seperti pecel mempunyai produsen-produsen tersendiri dengan penggemar-penggemarnya tersendiri) komik mempunyai segmen-segmen pasar tersendiri.
Kita bisa mempunyai penggemar yang bisa terus kita layani dengan membuat karya-karya yang bisa sering mereka nikmati. Kita seharusnya tidak perlu mengharap semua penggemar komik akan menggemari karya kita. Cukup punya kelompok fans. Terus menerus dilayani maka lambat laun akan mengakar dan berkembang.
Seperti halnya warung nasi rames yang setiap hari memasak nasi rames, setiap hari membuka warung, setiap hari menjual nasi rames, juga lebih baik lagi jika memperbaiki mutu pelayanan seperti kebersihan, harga murah, kecepatan pelayanan dan lain-lain. (npc)
Sobat punya pendapat tentang artikel ini? Mari kita diskusikan di Forum NP.
+ komentar + 1 komentar
wah,, udah mulai menghilang ya komikus indonesia, ayo para komikus tetap semangat
Posting Komentar