{[['']]}
Oleh : Alfawzia Nurrahmi*
Menulis bisa menjadi sebuah aktivitas yang sangat menyenangkan atau sangat menyebalkan. Bisa terasa mudah, atau suuuuliiiit bukan main! Menulis memang gampang-gampang susah, kok. Jangankan penulis pemula, penulis yang sudah profesional atau termasyhur macam Leo Tolstoy sekalipun pernah mengalami hambatan dalam menghasilkan karya, atau yang biasa disebut dengan istilah writer’s block.
Bagi saya, menulis adalah suatu hal yang begitu mengasyikkan. Saat menulis, saya bisa menuangkan segala bentuk curahan hati saya sepuas-puasnya, bisa memasukkan amanat atau pesan dalam tulisan saya, bisa bercanda tawa dan terkikik-kikik sendirian dengan tulisan yang saya anggap lucu, gokil, tetapi menghibur. Saya juga dapat berkontemplasi dan merefleksikan segala peristiwa, fenomena, wacana, pemikiran, dan emosi dalam wujud untaian kata-kata. Saya bisa ‘memprotes’ dan ‘berteriak’ kepada dunia, dan pada saat yang sama, bisa menangis tanpa suara dan isak air mata.
Beda dengan karya tulis nonfiksi (artikel, esai, jurnal, laporan penelitian, dsb.), karya fiksi sifatnya memang personal; semacam bentuk komunikasi antara si penulis pada pembaca melalui apa yang ditulisnya. Jadi, ada baiknya kalau kita tidak terburu-buru ‘menghakimi’ si kreator dengan menyebut karyanya sebagai hal yang “terlalu subjektif”, apalagi membandingkannya dengan karya kreator lain (“Penulis anu nulisnya begitu. Kok, penulis yang ini kayak gini, sih?”). Fiksi pada dasarnya memang sangat subjektif, sangat dipengaruhi oleh pola pikir, wawasan, lingkungan, pengalaman, emosi dan (terutama) kepribadian si penulis. Saat membuka sebuah karya fiksi, konsekuensi utamanya memang mempersiapkan diri dengan segala macam kejutan dalam ‘dunia’ yang diciptakan oleh penulis yang bersangkutan. Siap-siap untuk “ditipu” oleh dunia rekaan ini. Ingat, ini fiksi, jek! Bukan disertasi!
Nah, sebab itulah, penilaian objektif bisa kita tujukan pada karya itu sendiri, sebagai benda utuh untuk dikupas dan dinikmati tanpa harus selalu mengaitkannya dengan si pencipta. Apakah “tipuan”nya cukup berharga? Apakah ada yang dapat kita petik dari “tipuan” tersebut? Tak ketinggalan pula poin apakah si penulis mampu “menipu” pembacanya dengan cara yang grandeur dan elegan. Jangan sampai, deh, “tipuan”nya itu sama sekali tak bernilai bahkan untuk disebut sebagai sebuah tipuan. Ini memang ‘cuma’ fiksi, tetapi seorang penulis yang baik pasti ingin membuat karya fiksi yang berisi, bukan sekedar basa-basi.
Yang pertama adalah berangkat dari keinginan untuk menuangkan apa yang ada di dalam benak ke dalam bentuk tulisan. Tidak mudah memang, mungkin karena budaya lisan yang sudah sangat mengakar di negara kita, sehingga kita kurang terbiasa mengungkapkan isi pikiran dan pendapat secara tertulis. Tulisan sifatnya lebih halus, tetapi boleh jadi lebih mampu menciptakan kesan mendalam, dan yang jelas… lebih long lasting dan effectively conveyed and distributed!
Lantas, sebenarnya bagaimana, sih, CARA BIKIN NASKAH (SCRIPT) YANG OKE?
true to yourself, true to be yourself
Ada begitu banyak kiat untuk bikin skrip yang asyik. Yang pertama, mulailah dengan kejujuran. You should be true to yourself and true to be yourself. Maksudnya, tulis apa yang ingin kamu tulis. Ini bisa berangkat dari apa yang kamu tahu maupun apa yang kamu belum tahu. What makes you feel really passionated to write it down into a piece of paper, the very urge of writing itself, itulah yang akan menjadi bahan bakar paling joss untuk proses menulis. Apakah salah untuk menulis sesuatu yang kita anggap akan disukai oleh orang banyak alias sesuatu yang ngetrend? Tidak juga, menurut saya. Tetapi, akan lebih berarti nilainya jika kita menyukainya karena memang suka dan ingin menuliskannya, bukan karena kita berpikir orang akan menyukai apa yang kita tulis tersebut.
Ini termasuk dalam style. Wajarlah jika ada proses imitasi atau modelling dari gaya penulisan penulis atau seseorang yang kita kagumi. Mungkin gayanya yang segar, dalam, tajam, serius, absurd, mellowish, gokil, apalah itu… Namun, sebaiknya kita tidak terjebak terlalu lama (apalagi seterusnya) dalam penggunaan ‘topeng’ yang bukan diri kita ini. Jauh lebih baik jika kita segera menemukan gaya kita sendiri. Coba bayangkan kalau ada ribuan Enyd Blyton, Pramudya Ananta Toer, J.K. Rowling, Budi Darma, Ayu Utami, Dewi Lestari, Aditya Mulya, hingga Raditya Dika di dunia ini. Mereka boleh jadi punya gaya penulisan yang khas, tetapi kalau yang istimewa dicontek mentah-mentah oleh semuanya, tak akan ada lagi beda antara yang istimewa dengan yang biasa saja. Jangan jadi J. K. Rowling ke-sekian yang pernah ada di muka bumi. Anda boleh mengidolakan dan meneladaninya, tetapi jadilah diri Anda yang pertama. Banggalah dengan gaya yang Anda usung sendiri.
Mencari & Mendapatkan Ide
Poin kedua mungkin terkait dengan apa yang sering ditanyakan oleh para pembaca: Dari mana, sih, datangnya ide? Almarhum Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen, Yuk mengatakan “Jadilah proaktif”. Carilah ide, karena ‘makhluk’ itu ada di mana-mana, di sekeliling kita, menunggu untuk ditemukan dan diolah oleh kekayaan pikiran dan kekreativan si penulis. Sementara itu, Dewi Lestari (sempat) menyebutkan dalam beberapa bedah buku yang dihadirinya, bahwa ide—layaknya wahyu—itu didapat, dan bukan dicari. “Mencari-cari” ide akan menjadikan sesuatu yang ditulis cenderung mengada-ada alias maksa. Karya pun menjadi tidak mengalir alami.
Hmm… saya tak memihak ataupun menyalahkan keduanya. Bagi saya, ide itu sama halnya dengan rezeki. Terkadang memang kita perlu menjemputnya dengan usaha ekstra. Gali sana-sini, merenung, berimajinasi, dan… voila! Ide muncul! Tetapi, terkadang pula, ‘tanpa’ berbuat apa-apa, ia yang datang menghampiri kita. Cling, cling… Abrakadabra! Eureka, itu dia!
Menyimpan & Mengolah Ide
Ketimbang memusingkan mekanisme ide yang dicari atau didapat, lebih baik kita memikirkan apa yang mesti dilakukan dengan ide yang sudah ada di depan mata (Ups, ralat ding… ide kan tak kasat mata, ya? Hehe…) Perlakukan sang ide dengan sebaik-baiknya. Buat Anda yang agak-agak pelupa, sempatkan untuk mencatat ide yang sempat melintas tersebut. Ide seremeh dan sekecil apapun bisa jadi sesuatu yang sangat membantu, lho, jika kebuntuan menyergap kelak. Saya biasa mencatat ide yang datang tiba-tiba di HP saya, keburu lupa soalnya. Kadang pula, saat lagi online dan menemukan sebuah ide yang unik, saya mencatatnya saat itu juga dan saya e-mail ke e-mail address saya sendiri!
Boleh jadi kita tak akan pernah menggunakan ide itu sama sekali dalam karya kita. Apa salahnya, toh, ide bisa menjadi pemicu untuk berkarya. Ia tak harus selalu menjadi grand theme atau moral message dalam sebuah cerita, tetapi bisa berfungsi sebagai setting tempat, waktu, atau suasana pembangun cerita. Misalnya saja, waktu remaja, saya terkesan sekali dengan film My Girl yang dibintangi oleh Anna Clumsky dan Macaulay Culkin. Saya bayangkan pada suatu hari Minggu, saya tengah bersantai dan menonton film itu untuk yang kesekian kalinya tanpa rasa bosan, namun malah direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan kedua saudara di rumah yang berusaha mengetes pengetahuan saya akan film tersebut. Yep, jadilah bayangan itu sebagai prolog sekaligus salah satu unsur pembangun suasana cerita dalam salah satu cerpen saya yang berjudul Prince Charming for Ami.
Write, write, and write
Tips ini mungkin akan terdengar klise, tetapi memang tak ada cara lain untuk menghasilkan karya yang bagus selain practice, practice, and practice. So it does. Just write, write, and write. Write makes perfect, haha… Semakin sering menulis, semakin kita tahu di mana nikmat dan susahnya menulis, juga kelebihan dan kekurangan kita dalam berproses. Saat mengalami hambatan yang sama, kita akan menjadi ’kebal’ dan lebih mudah mencari solusinya.
Tenang saja jika merasa terdapat kekurangan di sana-sini dalam karya Anda. Take some time to let your work have enough rest. Kejenuhan terkadang datang menghampiri. Tinggalkan sejenak kegiatan menulis untuk mengerjakan aktivitas lain. Bersih-bersih, kek. Ngobrol sama teman, pacar, atau keluarga, kek. Jalan-jalan sama piaraan di rumah, kek. Sementara Anda menyelesaikan tugas-tugas yang lain, pikiran Anda perlahan akan jernih kembali. Lantas, jika sudah muncul semangat untuk meneruskan atau memperbaiki karya Anda, silakan tengok kembali tulisan Anda. Seringkali jauh lebih mudah untuk merevisi sebuah tulisan di akhir waktu dan menjadikannya keseluruhan karya yang bagus pada akhirnya, ketimbang berangkat dengan tuntutan untuk menjadi serbaperfeksionis dan tanpa cacat di awal-awal penggarapannya.
publish your work.
Untuk tahu apakah tulisan yang Anda buat sudah cukup enak atau tidak, langkah pertama adalah mempersilakan orang lain untuk mencicipinya. Ayolah, uji nyali dikit, dong! Suguhkan tulisan Anda pada orang-orang terdekat. Saran dan kritik apapun boleh saja ditampung, yang penting tidak menyurutkan hasrat untuk terus menulis. Lebih bagus lagi kalau bisa mendapatkan komentar, saran, atau kritik dari mereka yang sudah pro.
Langkah selanjutnya, publish your work. Ini penting bagi Anda yang ingin terjun ke dunia kepenulisan profesional. The more aknowledged works you’ve got, the more reputable you will be. The more reputable you are, the more benefits you’ll get. Coba-coba, deh, kirim ke media yang Anda tahu sekiranya akan menerima dan memuat jenis karya Anda. Sekali-dua kali hingga puluhan kali gagal, itu tak jadi soal. Banyak orang mengalaminya. Ingat, yang buruk di mata redaktur sebuah media, belum tentu buruk di mata redaktur media lain. Jangan patah arang dulu. Lihat kasus J.K. Rowling yang novel Harry Potter-nya sempat ditolak oleh sejumlah penerbit hingga akhirnya meledak menjadi salah satu karya fiksi terlaris di dunia sepanjang sejarah. Dan jangan shocked juga jika setelah sering ‘langganan’ dimuat di media tertentu, karya Anda ditolak oleh media yang lain. Tak perlu jauh-jauh mengaitkannya dengan soal harga diri dan kemampuan Anda, sebab yang oke bagi editor A juga belum tentu oke bagi editor B. As simple as that.
Terlepas dari motivasi kita dalam berkarya, entah itu untuk mendapatkan keuntungan finansial, mencari popularitas, menyampaikan kebaikan, atau murni berkarya, pertanyaan yang paling nyata adalah: Do you write? Sejuta tips tak akan ada gunanya jika tidak dipraktikkan. Temukan tips versi Anda sendiri. ‘Penulis’ yang tidak menulis bukanlah penulis. Sama halnya dengan perbedaan antara orang yang sekedar bisa dan sekali-sekali memasak, dengan seorang professional chef yang rajin berlatih memasak dan akhirnya sering memenangkan kompetisi memasak.
Jadi, tunggu apa lagi?
Kalau pengen nulis, ya, nulis aja!
Bagi saya, menulis adalah suatu hal yang begitu mengasyikkan. Saat menulis, saya bisa menuangkan segala bentuk curahan hati saya sepuas-puasnya, bisa memasukkan amanat atau pesan dalam tulisan saya, bisa bercanda tawa dan terkikik-kikik sendirian dengan tulisan yang saya anggap lucu, gokil, tetapi menghibur. Saya juga dapat berkontemplasi dan merefleksikan segala peristiwa, fenomena, wacana, pemikiran, dan emosi dalam wujud untaian kata-kata. Saya bisa ‘memprotes’ dan ‘berteriak’ kepada dunia, dan pada saat yang sama, bisa menangis tanpa suara dan isak air mata.
Beda dengan karya tulis nonfiksi (artikel, esai, jurnal, laporan penelitian, dsb.), karya fiksi sifatnya memang personal; semacam bentuk komunikasi antara si penulis pada pembaca melalui apa yang ditulisnya. Jadi, ada baiknya kalau kita tidak terburu-buru ‘menghakimi’ si kreator dengan menyebut karyanya sebagai hal yang “terlalu subjektif”, apalagi membandingkannya dengan karya kreator lain (“Penulis anu nulisnya begitu. Kok, penulis yang ini kayak gini, sih?”). Fiksi pada dasarnya memang sangat subjektif, sangat dipengaruhi oleh pola pikir, wawasan, lingkungan, pengalaman, emosi dan (terutama) kepribadian si penulis. Saat membuka sebuah karya fiksi, konsekuensi utamanya memang mempersiapkan diri dengan segala macam kejutan dalam ‘dunia’ yang diciptakan oleh penulis yang bersangkutan. Siap-siap untuk “ditipu” oleh dunia rekaan ini. Ingat, ini fiksi, jek! Bukan disertasi!
Nah, sebab itulah, penilaian objektif bisa kita tujukan pada karya itu sendiri, sebagai benda utuh untuk dikupas dan dinikmati tanpa harus selalu mengaitkannya dengan si pencipta. Apakah “tipuan”nya cukup berharga? Apakah ada yang dapat kita petik dari “tipuan” tersebut? Tak ketinggalan pula poin apakah si penulis mampu “menipu” pembacanya dengan cara yang grandeur dan elegan. Jangan sampai, deh, “tipuan”nya itu sama sekali tak bernilai bahkan untuk disebut sebagai sebuah tipuan. Ini memang ‘cuma’ fiksi, tetapi seorang penulis yang baik pasti ingin membuat karya fiksi yang berisi, bukan sekedar basa-basi.
Yang pertama adalah berangkat dari keinginan untuk menuangkan apa yang ada di dalam benak ke dalam bentuk tulisan. Tidak mudah memang, mungkin karena budaya lisan yang sudah sangat mengakar di negara kita, sehingga kita kurang terbiasa mengungkapkan isi pikiran dan pendapat secara tertulis. Tulisan sifatnya lebih halus, tetapi boleh jadi lebih mampu menciptakan kesan mendalam, dan yang jelas… lebih long lasting dan effectively conveyed and distributed!
Lantas, sebenarnya bagaimana, sih, CARA BIKIN NASKAH (SCRIPT) YANG OKE?
true to yourself, true to be yourself
Ada begitu banyak kiat untuk bikin skrip yang asyik. Yang pertama, mulailah dengan kejujuran. You should be true to yourself and true to be yourself. Maksudnya, tulis apa yang ingin kamu tulis. Ini bisa berangkat dari apa yang kamu tahu maupun apa yang kamu belum tahu. What makes you feel really passionated to write it down into a piece of paper, the very urge of writing itself, itulah yang akan menjadi bahan bakar paling joss untuk proses menulis. Apakah salah untuk menulis sesuatu yang kita anggap akan disukai oleh orang banyak alias sesuatu yang ngetrend? Tidak juga, menurut saya. Tetapi, akan lebih berarti nilainya jika kita menyukainya karena memang suka dan ingin menuliskannya, bukan karena kita berpikir orang akan menyukai apa yang kita tulis tersebut.
Ini termasuk dalam style. Wajarlah jika ada proses imitasi atau modelling dari gaya penulisan penulis atau seseorang yang kita kagumi. Mungkin gayanya yang segar, dalam, tajam, serius, absurd, mellowish, gokil, apalah itu… Namun, sebaiknya kita tidak terjebak terlalu lama (apalagi seterusnya) dalam penggunaan ‘topeng’ yang bukan diri kita ini. Jauh lebih baik jika kita segera menemukan gaya kita sendiri. Coba bayangkan kalau ada ribuan Enyd Blyton, Pramudya Ananta Toer, J.K. Rowling, Budi Darma, Ayu Utami, Dewi Lestari, Aditya Mulya, hingga Raditya Dika di dunia ini. Mereka boleh jadi punya gaya penulisan yang khas, tetapi kalau yang istimewa dicontek mentah-mentah oleh semuanya, tak akan ada lagi beda antara yang istimewa dengan yang biasa saja. Jangan jadi J. K. Rowling ke-sekian yang pernah ada di muka bumi. Anda boleh mengidolakan dan meneladaninya, tetapi jadilah diri Anda yang pertama. Banggalah dengan gaya yang Anda usung sendiri.
Mencari & Mendapatkan Ide
Poin kedua mungkin terkait dengan apa yang sering ditanyakan oleh para pembaca: Dari mana, sih, datangnya ide? Almarhum Muhammad Diponegoro dalam bukunya Yuk, Nulis Cerpen, Yuk mengatakan “Jadilah proaktif”. Carilah ide, karena ‘makhluk’ itu ada di mana-mana, di sekeliling kita, menunggu untuk ditemukan dan diolah oleh kekayaan pikiran dan kekreativan si penulis. Sementara itu, Dewi Lestari (sempat) menyebutkan dalam beberapa bedah buku yang dihadirinya, bahwa ide—layaknya wahyu—itu didapat, dan bukan dicari. “Mencari-cari” ide akan menjadikan sesuatu yang ditulis cenderung mengada-ada alias maksa. Karya pun menjadi tidak mengalir alami.
Hmm… saya tak memihak ataupun menyalahkan keduanya. Bagi saya, ide itu sama halnya dengan rezeki. Terkadang memang kita perlu menjemputnya dengan usaha ekstra. Gali sana-sini, merenung, berimajinasi, dan… voila! Ide muncul! Tetapi, terkadang pula, ‘tanpa’ berbuat apa-apa, ia yang datang menghampiri kita. Cling, cling… Abrakadabra! Eureka, itu dia!
Menyimpan & Mengolah Ide
Ketimbang memusingkan mekanisme ide yang dicari atau didapat, lebih baik kita memikirkan apa yang mesti dilakukan dengan ide yang sudah ada di depan mata (Ups, ralat ding… ide kan tak kasat mata, ya? Hehe…) Perlakukan sang ide dengan sebaik-baiknya. Buat Anda yang agak-agak pelupa, sempatkan untuk mencatat ide yang sempat melintas tersebut. Ide seremeh dan sekecil apapun bisa jadi sesuatu yang sangat membantu, lho, jika kebuntuan menyergap kelak. Saya biasa mencatat ide yang datang tiba-tiba di HP saya, keburu lupa soalnya. Kadang pula, saat lagi online dan menemukan sebuah ide yang unik, saya mencatatnya saat itu juga dan saya e-mail ke e-mail address saya sendiri!
Boleh jadi kita tak akan pernah menggunakan ide itu sama sekali dalam karya kita. Apa salahnya, toh, ide bisa menjadi pemicu untuk berkarya. Ia tak harus selalu menjadi grand theme atau moral message dalam sebuah cerita, tetapi bisa berfungsi sebagai setting tempat, waktu, atau suasana pembangun cerita. Misalnya saja, waktu remaja, saya terkesan sekali dengan film My Girl yang dibintangi oleh Anna Clumsky dan Macaulay Culkin. Saya bayangkan pada suatu hari Minggu, saya tengah bersantai dan menonton film itu untuk yang kesekian kalinya tanpa rasa bosan, namun malah direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan kedua saudara di rumah yang berusaha mengetes pengetahuan saya akan film tersebut. Yep, jadilah bayangan itu sebagai prolog sekaligus salah satu unsur pembangun suasana cerita dalam salah satu cerpen saya yang berjudul Prince Charming for Ami.
Write, write, and write
Tips ini mungkin akan terdengar klise, tetapi memang tak ada cara lain untuk menghasilkan karya yang bagus selain practice, practice, and practice. So it does. Just write, write, and write. Write makes perfect, haha… Semakin sering menulis, semakin kita tahu di mana nikmat dan susahnya menulis, juga kelebihan dan kekurangan kita dalam berproses. Saat mengalami hambatan yang sama, kita akan menjadi ’kebal’ dan lebih mudah mencari solusinya.
Tenang saja jika merasa terdapat kekurangan di sana-sini dalam karya Anda. Take some time to let your work have enough rest. Kejenuhan terkadang datang menghampiri. Tinggalkan sejenak kegiatan menulis untuk mengerjakan aktivitas lain. Bersih-bersih, kek. Ngobrol sama teman, pacar, atau keluarga, kek. Jalan-jalan sama piaraan di rumah, kek. Sementara Anda menyelesaikan tugas-tugas yang lain, pikiran Anda perlahan akan jernih kembali. Lantas, jika sudah muncul semangat untuk meneruskan atau memperbaiki karya Anda, silakan tengok kembali tulisan Anda. Seringkali jauh lebih mudah untuk merevisi sebuah tulisan di akhir waktu dan menjadikannya keseluruhan karya yang bagus pada akhirnya, ketimbang berangkat dengan tuntutan untuk menjadi serbaperfeksionis dan tanpa cacat di awal-awal penggarapannya.
publish your work.
Untuk tahu apakah tulisan yang Anda buat sudah cukup enak atau tidak, langkah pertama adalah mempersilakan orang lain untuk mencicipinya. Ayolah, uji nyali dikit, dong! Suguhkan tulisan Anda pada orang-orang terdekat. Saran dan kritik apapun boleh saja ditampung, yang penting tidak menyurutkan hasrat untuk terus menulis. Lebih bagus lagi kalau bisa mendapatkan komentar, saran, atau kritik dari mereka yang sudah pro.
Langkah selanjutnya, publish your work. Ini penting bagi Anda yang ingin terjun ke dunia kepenulisan profesional. The more aknowledged works you’ve got, the more reputable you will be. The more reputable you are, the more benefits you’ll get. Coba-coba, deh, kirim ke media yang Anda tahu sekiranya akan menerima dan memuat jenis karya Anda. Sekali-dua kali hingga puluhan kali gagal, itu tak jadi soal. Banyak orang mengalaminya. Ingat, yang buruk di mata redaktur sebuah media, belum tentu buruk di mata redaktur media lain. Jangan patah arang dulu. Lihat kasus J.K. Rowling yang novel Harry Potter-nya sempat ditolak oleh sejumlah penerbit hingga akhirnya meledak menjadi salah satu karya fiksi terlaris di dunia sepanjang sejarah. Dan jangan shocked juga jika setelah sering ‘langganan’ dimuat di media tertentu, karya Anda ditolak oleh media yang lain. Tak perlu jauh-jauh mengaitkannya dengan soal harga diri dan kemampuan Anda, sebab yang oke bagi editor A juga belum tentu oke bagi editor B. As simple as that.
Terlepas dari motivasi kita dalam berkarya, entah itu untuk mendapatkan keuntungan finansial, mencari popularitas, menyampaikan kebaikan, atau murni berkarya, pertanyaan yang paling nyata adalah: Do you write? Sejuta tips tak akan ada gunanya jika tidak dipraktikkan. Temukan tips versi Anda sendiri. ‘Penulis’ yang tidak menulis bukanlah penulis. Sama halnya dengan perbedaan antara orang yang sekedar bisa dan sekali-sekali memasak, dengan seorang professional chef yang rajin berlatih memasak dan akhirnya sering memenangkan kompetisi memasak.
Jadi, tunggu apa lagi?
Kalau pengen nulis, ya, nulis aja!
Surabaya, 14 Februari 2009
*Freelance Writer, Bookworm, and Cat Lover
Posting Komentar