{[['']]}
Para artis muda pun banyak yang bangga sanggup menjadi mangaka. Hasilnya, banyak manga lokal diterbitkan. Baik oleh penerbit besar maupun kecil, bahkan juga komik fotokopian. Begitu melihat komik-komik itu, tak jelas benar siapa kreatornya. Sebab, semuanya seragam. Uniknya lagi, banyak nama komikus yang menyaru dengan nama Jepang. Entah karena untuk “mengelabui” pasar atau memang kreatornya yang bangga bisa kejepang-jepangan.
Saya bergumam, yang namanya proses kreatif kok diseragamkan. Apakah mereka bangga hanya berhenti menjadi epigon, tanpa punya karakter sendiri. Padahal, batin saya, sebenarnya goresan seseorang ibarat tanda tangan, yang sesungguhnya masing-masing punya karakter. Tentu saja ini terjadi ketika ia tidak tengah berusaha melakukan peniruan.
Pada masa lalu, memang gaya lukisan beberapa komikus mapan punya beberapa pengikut. Tak hanya gambar, bahkan “isi” cerita juga dibuat senada. Misalnya saja warna Teguh Santosa diikuti nama-nama seperti Sam Timur, Ema Wardhana, Eroest BP dan lainnya. Jan ditiru Dhika Kameswara, dan belakangan Har. Atau Djair yang diikuti muridnya Suryana. Dan, yang paling fenomenal adalah Henky yang punya sindikat Henky & Co. Beberapa nama mengekornya seperti nama-nama Arie, Sindhu, Pros, Abbi, Adhi, dan banyak nama lain.
Selebihnya, komikus era 70-an punya karakter gambar yang kemudian melekat pada dirinya. Ganes terkenal dengan efek mleyotnya, Jan yang kebarat-baratan pun pada akhirnya punya karakter kuat. Juga komikus lain yang dari melihat gambarnya saja sudah ketahuan kreatornya. Tercatat nama-nama seperti Ganes TH, Man, Hasmi, Teguh, Hans, Absoni, Banu Ambardi. Artinya, komikus masa lalu lebih suka menemukan ciri khas sendiri. Melihat gambar-gambar mereka, saya melihat kekayaan gaya.
Kembali ke masa sekarang, saya sempat risau, apakah sebagian besar komikus hari ini memang tidak ingin menemukan kesejatiannya? Apakah mereka benar-benar bangga bisa membuat komik Jepang dengan baik dan benar? Tapi, buru-buru saya menepis kerisauan saya. Ini sebuah keniscyaan. Ini proses kapitalisasi, globalisme, atau apalah namanya.
Toh, demi yang namanya kecintaan pada produk lokal, saya tetap mengoleksi para mangaka itu. Rak komik saya pun terisi komik-komik karya Anzu Hizawa, Hisako Ikeda, Risa Mori, Yuu An, Shinju Arisa, yang sebenarnya nama samaran. Namun, banyak juga mangaka lokal yang pede dengan nama sendiri seperti Nunik Triwahyuni yang produktif atau Ida Aryanti. Saya tetap sangat menghormati pilihan mereka.
Saya tak risau lagi karena percaya, anomali selalu ada. Masih ada sederet nama komikus muda yang memilih memiliki identitas. Antara lain Beng Rahadian, Ahmad Zeni, Dyan Bijac, Wisnoe Lee, Vbi Djenggotten, Tita Larasati, Lala, Azisa Noor, Ajie Prasetyo, dan nama-nama lain. Wow, banyak juga rupanya.
Kembali lagi ke gaya manga. Kali ini saya benar-benar bergumam. Mungkinkah bisa gaya manga hanya jadi pijakan untuk kemudian menemukan karakter sendiri? Maksud saya, belajar menggambar manga hanya sebagai basis menguasai teknik gambar. Kemudian dari basis itu, mereka membelokkan ke warna sendiri. Misalnya saja gambar manga ala Henry, manga rasa Ismono, dan seterusnya.
Mungkinkah bisa gaya manga hanya jadi pijakan untuk kemudian menemukan karakter sendiri? Bisa saja. Namanya saja bergumam! (Henry Ismono | 16.09.2010)
---
Henry Ismono, lahir di Salatiga 28 September 1965. Sejak tahun 1994 bekerja sebagai jurnalis di Tabloid Nova. Di sela-sela kesibukannya, rajin mengoleksi komik Indonesia. Catatan tentang komiknya dimuat untuk mengantarkan komik Tumbal karya Man (terbit tahun 2009), Iblis Mengamuk di Mataram (tahun 2010), dan yang akan terbit komik Roseta karya Man. Profilnya sebagai kolekor komik dimuat di harian Koran Jakarta.
Ia juga menulis buku. Bukunya yang sudah terbit berjudul “Aku Wanita Terkaya” (Elexmedia Komputindo 2009) dan “Laskar Pejuang 9 Wanita Wirausaha” (Elexmedia Komputindo 2010). Sekarang tengah mempersiapkan buku tentang komik Indonesia.
Sumber
Posting Komentar